Sumer foto: Batam
today
Kasus kekerasan terhadap anak tentunya bukan lagi hal yang sangat baru terdengar oleh telinga kita, kasus yang meliputi kekerasan, penganiayaan, bahkan hingga pelecehan seksual sering kali menghantui kehidupan anak-anak yang tanpa memandang satus, mirisnya lagi pelaku merupakan orang-orang terdekat dan dikenal oleh korban, sama seperti stigma masyarakat kita terhadap maling yang pastinya sudah memantau jauh-jauh hari kondisi dan situasi rumah yang akan ia curi.
Berdasarkan undang-undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan, perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan beradaptasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Kekerasan terhadap anak bukan lagi merupakan problem sosial yang hanya dialami oleh satu atau dua negara saja namun problem sosial tersebut juga merupakan masalah yang dialami oleh universal termasuk Indonesia. Sehingga tidak hanya negara indonesia yang mengatur tentang perlindungan anak namun dunia juga melakukan itu.
Dunia ditahun 2020 saat ini merupakan tahun yang sangat jauh dari segala ramalan dan perdiksi semua orang, dimana dunia saat ini tanpa henti-hentinya mengukir sejarah kelam untuk masa yang akan datang, dunia yang sedang dilanda COVID-19 memaksa masyarakat untuk mengubah segala aktivitas dari bekerja dikantor, belajar disekolah, menjadi beraktivitas dari rumah saja, hal tersebut dapat mengakibatkan bagi sebagian orang mengalami stress dengan kondisi yang belum terbiasa, sehingga sangat rentan menimbulkan kekerasan terhadap anak terutama kekerasan seksual.
Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, yang dikeluarkan oleh kator Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) memperlihatkan angka kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Aceh termasuk kedalam kategori angka yang sangat tinggi.
Tahun 2017 mencapai 2.414 kasus kekerasan, dengan rincian 1.155 menimpa perempuan, dan 1.259 korbannya anak-anak. Tahun 2018 terdapat 1.907 kasus kekerasan; 981 kasus terhadap perempuan, 926 kasus terhadap anak. Pada 2019 total kasus kekerasan yang tercatat sebanyak 1.632; terhadap perempuan sebanyak 971 kasus, sisanya, 661 kasus terhadap anak. Sementara tahun ini, 2020, sampai pada pertengahan tahun saja terdapat 379 kasus, perempuan 179 kasus dan anak 200 kasus yang telah masuk ke P2TP2A Aceh.1
Mengapa anak sering menjadi sasaran empuk bagi tingkahlaku kriminal kekerasan seksual?
Ada beberapa alasan mengapa anak sering kali menjadi target
kekerasan seksual yaitu: anak selalu berada pada posisi yang lebih lemah dan
tidak berdaya, moralitas masyarakat khususnya pelaku kekerasan seksual yang
rendah, kontrol dan kesadaran orang tua dalam mengantisipasi tindak kejahatan
pada anak yang rendah. (Hertinjung: 2009).2
Seperti yang sudah kita ketahui Aceh diberi otonomi khusus oleh Republik Indonesia. Negeri syariat islam ini mengatur kebijakan kekerasan terhadap anak di Qanun Nomor 6 tahun 2014 tentang jinayat ”yang dikenakan sanksi cambuk paling sedikit 125 kali, paling banyak 175 kali, atau denda paling sedikit 1.250 gram emas murni, paling banyak 1.750 gram emas murni atau penjara paling singkat 125 bulan, paling lama 175 bulan”.
Tentunya tidak mudah menjadi perempuan dengan menyandang kasus pelecehan seksual apalagi di negeri syariat islam, perempuan yang tinggal di negeri syariat islam sering kali diberi beban tanggung jawab oleh sosial bahwa kesucian merupakan identitas untuk perempuan baik-baik.
Perempuan dibawah 18 tahun tentunya masih memiliki perjalanan kehidupan yang sangat panjang, seperti biasa kita temui anak dibawah umur belum mampu mengendalikan emosi seperti orang dewasa, sehingga hal tersebut dapat merusak kondisi mental anak serta gangguan trauma mungkin akan terjadi pada anak yang mengalami kekerasan seksual, terlebih manusia seperti mesin pengingat yang menjalankan kehidupan yang tidak hanya sekali tetapi setiap harinya namun tidak tahu bagaimana cara mengahapus data yang ada dikepalanya.
Pilihan hukuman yang didapatkan oleh pelaku sepertinya terlalu ringan apabila pelaku hanya mendapatkan hukum cambuk, dimana dapat diperkirakan parade hukuman cambuk itu hanya akan berlangsung selama satu atau dua jam saja setelah itu pelaku bisa melengang dengan bebasnya. Apakah pilihan hukuman cambuk sudah efektif untuk membuat pelaku kejahatan kriminal seksual jera dan tidak akan melahirkan koban-korban baru? Tentunya hal tersebut sudah dipertimbangkan oleh pemangku dengan harapakan akan memberikan efek jera terhadap pelaku. Namun alangkah baiknya sisi keadilan juga harus dibahas sebagai kebijakkan baru serta direalisasikan terhadap korban kekerasan seksusal secara khusus, dalam pemulihan trauma, gangguan psikis dan penerimaan sosial. Agar bibit generasi bangsa kita tetap unggul.[]
Refensi :
- http://lbhbandaaceh.org/predator-seksual-bergentayangan-di-negeri-syariah/
- Hertinjung S Wisnu, 2009. The Dinamyc of Causes of Child Sexual Abuse Based on Availibility
Komentar
Posting Komentar